KIBAR PALUNG HATI
Waktu beriringan meninggalkan pikiran
Dunia seakan merana saat benderaku turun petang ini
Berliku tapi pasti
Berlalu pergi meninggalkan semua mimpi
Setengah berteriak, setengah berlari, dan setengah tersengal nafasku. Setelah itu, mereka semua terdiam dalam lamunan. Tak satupun dari mereka yang bersuara lantang, selain diriku yang berani berujar tegas, “Jangan turunkan benderaku! Awas jika ada yang berani menurunkan benderaku! Aku tidak main-main kali ini.” Teriakanku kalah dengan deru mobil dan motor yang bergelayutan dan saling bersahutan di pinggir jalan poros. Petang mulai mengusik dada. Semua tetap tak bersuara. Diam. Sunyi.
* * *
Sepertiga waktu malam ini telah dilewati olehku. Berat mata ini untuk di buka. Awal Agustus ku lalui dengan dahaga di ujung kerongkongan. Segelas air putih sengaja menyapu di sela-sela dahagaku. Aku kemudian berjalan lunglai ke arah pancuran air di belakang rumah. Ku ambil air penyejuk jiwa. Ku basuh perlahan demi perlahan, inci demi inci tubuh ini. Hingga tetes terakhir di antara kakiku. Ku panjatkan niat dalam kekhusyuan tingkat tinggi. Ku serahkan jiwa dan raga pada Sang Khalik, Maha Pencipta. Keheningan tiba-tiba menggelayuti tubuh. Terkulai lemas pada tumpukan dosa yang semakin menggunung tiap detik, tiap menit, tiap jam, tiap hari, tiap minggu, tiap bulan, tiap tahun, bahkan tiap waktu yang berjalan beriringan.
Hatiku berbisik lirih pada awal Agustus ini, “Ya Allah, Ya Robb. Pencipta segala yang ada di langit dan di bumi. Tiada yang berani menyekutukan Engkau dengan suatu apa pun jua. Ya Allah, sebentar lagi hari kemerdekaan negeri kami, Indonesia. Masihkah Engkau melihat kami sebagai negeri yang merdeka lahir dan batin. Masihkah Engkau menurunkan azab-Mu ketika melihat umat-Mu telah lupa bahwa mereka telah diberi kenikmatan. Nikmat Merdeka dari penjajah, yang selama lebih 3,5 abad meluluhlantahkan negeri kami. Tapi, mereka kemudian lupa untuk bersyukur atas semua nikmat yang mereka dapatkan kini. Sudah cukup rasanya hamba-Mu yang tak tahu malu ini melihat lebih dari setengah abad ketidakadilan di depan mata…” Tetesan air mata tak sengaja keluar dari pinggir lidah mataku yang berwarna coklat. Kemudian ayam jantan berkokok lantang memamerkan suaranya yang indah. Shubuh mulai memanggil.
* * *
“Siapa yang melihat bendera merah putih di dekat meja makan! Ayo, pasti di antara kalian ada yang mengambil bendera kebanggaan bangsa ini dari tanganku! Cepat jawab!”, semua terpana mendengar hardikku. Tak ada dari satu pun anak yang berdiri di depanku berani menunjukkan kejantanannya. Semua saling pandang. Diam tanpa kata sepatah pun. “Kali ini aku tidak main-main. Ayo, cepat katakan. Dimana kalian sembunyikan. Jika kalian memang memiliki niat jahat dengan cara menyembunyikan benda kesayanganku itu, maka kalian semua salah besar! Tak ada yang berani mengambil barang tersebut sejak aku berumur 8 tahun. Tidak Belanda, tidak Jepang, tidak pula kalian.”
“Kek, sudahlah. Jangan karena benda kesayangan kakek itu hilang, lantas semua yang ada di rumah ini terkena getah dari tuduhan kakek. Kek, benda itu memang tidak terlihat sejak kemarin,” dengan lemah lembut Ali menunjukkan keberaniannya.
“Iya Kek, memang dari kemarin tidak ada yang melihat barang kesayangan kakek itu. Apalagi jika kakek letakkan di tempat biasa. Tempat bendera pusaka kakek yang berada di sudut meja makan,” Akhmad menambahkan pembenaran kakaknya.
“Kakekku yang baik hati, kami mengetahui ini zaman sudah merdeka. Jadi mana ada yang berani mengambil sesuatu yang sudah menjadi hak setiap warga negara. Kek, mungkin kakek lupa dimana menaruh benda kesayangan kakek itu,” Ani, gadis cantik paling bungsu ikut-ikutan memberikan suara.
“Seingat kakek, kemarin pagi kakek letakkan pada tempatnya semula. Jadi mana mungkin pergi tanpa berpamitan dulu. Lagi pula kalian itu suka berbohong. Suka menyembunyikan benda kesayangan kakek itu. Jadi, sudah sewajarnya jika kakek bertanya kepada kalian dimana benda kesayangan kakek itu berada? Toh, di rumah ini cuma ada kalian dan kedua orang tua kalian. Pokoknya kakek tidak mau tahu, nanti jam 6 sore ini benda kesayangan kakek itu harus berada pada tempatnya sedia kala.” Aku kemudian pergi meninggalkan cucuku yang kebingungan.
* * *
“Seingatku, kemarin ku taruh di sekitar sini? Tapi, kok sekarang tidak ada ya. Apa di bawa kucing tetangga itu ya. Padahal, benda kesayanganku itu harus berada pada posisi semua tepat pukul 06.00. tak perduli ada badai, hujan, topan, bahkan gempa bumi.” Aku mulai kelimpungan mencari di setiap sudut rumah. Lemari, rak buku, meja dapur, bahkan kolong ranjang tidur pun aku teliti dengan seksama. “Bukankah tidak ada yang berani menggeser setiap barang yang ada di rumah ini selain aku. Tapi, tadi pagi para cucuku mengaku tak ada yang melihat.”
Sementara aku sibuk mencari benda pusaka yang selalu ku jaga selama lebih dari 50 tahun itu, tak kusadari di sudut lain rumah ada yang memperhatikan gerak-gerikku. Mata berwarna coklat, dengan bentuk mata agak sipit tersebut mengawasi kemana aku melangkah. Tanpa ragu dan tak mau bertanya, mata tersebut mengikutiku bagai senapan berburu yang telah melihat buruan tanpa mau melepas sedikitpun walau hanya setengah detik.
“Aduh, dimana ya. Jika bukan anak-anak, lalu siapa yang menyembunyikan benda kesayanganku yang satu ini.” Aku mulai tidak sabar mencari. Karena sudah sepagian mencari di setiap sudut rumah. Tapi, tidak jua menemukan. “Apa hilang ya? Tapi, masa yang diambil dari rumah ini hanya selembar bendera. Padahal banyak benda berharga yang lain yang lebih mahal. Jadi, mana mungkin hanya bendera saja yang hilang.”
Tiba-tiba…
“Ayah…” suara lembut yang berasal dari arah belakangku membangunkanku lamunan. “Ayah sedang apa? Sepertinya sibuk. Apa yang dicari, Yah? Mungkin bisa Anis bantu?”
Suara lembut dan sedikit mengagetkan tadi adalah Anis, anak perempuanku satu-satunya dari perkawinanku dengan Khusnul-ibunya. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun aku kemudian berpaling dan tetap sibuk mencari di sudut lain rumah.
“Ayah itu cari apa? Mau dibantu tidak?” suara Anis lembut.
Aku tetap tidak menggubris perkataan anakku ini. Memang sudah dua hari ini aku dan anak semata wayangku ini tidak ku tegur. Itu disebabkan Anis meletakkan benda kesayanganku di lantai. Mungkin ia melakukan tidak sengaja karena akan membersihkan rumah. Pada saat itu benda keramatku berada di atas meja, sejurus kemudian Anis membersihkan langit-langit rumah dan memindahkan barang yang di atas meja ke lantai dekat pintu. Aku kemudian marah besar dan tak mau bicara selama dua hari.
“Ayah masih marah tentang kejadian kemarin? Ayah, Anis kan sudah minta maaf. Tapi, Ani kan memang tidak sengaja meletakkan benda kesayangan Ayah itu di lantai.”
“Ayah sudah tidak marah. Tapi Ayah sedang kebingungan mencari dimana benda kesayangan kakek itu diletakkan. Jika biasanya anak-anakmu yang menyembunyikan, sekarang siapa lagi? Ayah tahu kemarin lusa itu kamu tidak sengaja,” Aku menarik nafas panjang mengingat kejadian lusa itu. Ditambah lagi kejadian pagi ini, hal tersebut membuat diriku kembali penat dengan semua yang terjadi. “Maafkan Ayah ya. Ayah tidak marah kok.”
“Oh ya, Ayah. Jadi bendera Ayah hilang lagi?” Ani mencoba bersimpati atas apa yang terjadi denganku.
“Iya, sudah sepagian ini Ayah mencari kemana-mana. Tapi, tetap saja tidak ketemu dimana bendera Ayah.” Serasa putus asa mencari kemana-mana tapi tidak menemukan.
Sekelebat kemudian, Anis juga ikut mencari di sudut lain rumah yang lain. ”Ayah mungkin lupa menaruhnya. Tapi, biasanya kan ayah taruh di sudut meja makan. Jadi, kalau bukan anak-anak lantas siapa? Kemarin memang waktu bersih-bersih rumah sudah tidak ada lagi.”
Aku terdiam seribu bahasa.
* * *
Sore setelah azan ashar berkumandang merdu di mesjid sebelah rumah-Mesjid Al-Ikhlas. Kegundahan hati ini semakin memuncak. Tak pernah kejadian seperti ini terjadi pada benda kesayanganku. Apakah harus ku relakan seperti nama mesjid di sebelah rumahku. IKHLAS. Rasanya tidak. Benda yang selama ini menemaniku selain istriku yang telah meninggal dunia. Benda yang selalu ku lihat berada di tempatnya pada hari kemerdekaan negeri tercinta ini. Benda yang mengingatkanku pada perjuangan para teman-teman sebaya, adik-adik, hingga orang tua yang renta dalam mengusir penjajah. Belum cukup semua. Hingga lima puluh tahun merdeka pun turut menjadi saksi keberadaan negeri ini. Tetap menatap saudaranya yang berada di ujung tiang di Istana Negara berkibar jantan dan tegas. Bahwa Indonesia telah merdeka.
”Assalamualaikum wr. wb. Ayah pulang!” suara Bahrul, suami dari anakku Anis yang berarti juga mantu kesayanganku membuyarkan semua angan yang mulai terbangun. ”Ayo, dimana para jagoan ayah. Dimana juga putri kecil ayah yang cantik dan jelita.” Tak berapa lama kemudian suara anak-anak membahana memecah kesunyian. Terpecahkan juga buah kerinduan setelah seharian bekerja di kantor. Kantor yang selama ini jadi sorotan warga masyarakat. Kantor tersebut adalah Dinas Kehutanan Provinsi. Bagaimana tidak, hutan Indonesia adalah salah satu paru-paru dunia. Ini diperparah dengan banyaknya lahan hutan yang rusak karena terbakar, penebangan liar, dan pengalih fungsi hutan menjadi perkebunan baik sawit maupun karet. Banyak yang bilang unuk apa dinas seperti kami ada apabila tidak bisa menjaga kelestarian hutan Indonesia. Sakit memang. Tapi, memang itulah yang terjadi. Ini adalah bentuk prihatin warga atas apa yang terjadi di sekitarnya. Apalagi mertuanya adalah Aku. Seorang pejuang yang merebut, mempertahankan, dan menjaga kemerdekaan Indonesia.
Tak lama setelah puas memeluk anak-anak, Bahrul kemudian berjalan ke arahku. Lalu mengambil telapak tanganku dan tak lupa mengucapkan salam, ”Assalamualaikum, Ayah.”
”Waalaikumsalam. Bagaimana harimu di kantor.”
”Seperti biasa, Yah. Sibuk administrasi. Ya, kadang-kadang juga ada rapat dengan kepala dinas.”
”Rul, kamu ada lihat bendera kesayangan yang ada di sudut ruang makan?” kemarin itu ada di sana, tapi, tidak ada lagi di tempatnya.
Belum sempat menjawab pertanyaan mertuanya, anak-anaknya merengek minta ke warung di seberang rumah untuk beli jajan yang biasa mereka beli. Ani menarik ayahnya itu dengan sedikit merengek manja. Itu dilakukan mungkin karena dia adalah anak terakhir.
Aku hanya bisa memandang sayu pada mantu dan cucuku. Aku kembali melamun mengingat bendera kesayanganku. Besok adalah hari kemerdekaan bangsa ini. Tapi, kali ini berbeda karena aku tidak lagi ditemani oleh benda kesayanganku.
* * *
Kejadian kemarin sore memang tidak terlupa. Ketika sedang berjalan di sekitar rumah. Aku melihat bendera berkibar lantang melawan angin. Bendera tersebut aadalah bendera yang selalu kulihat apabila hari kemerdekaan tiba. Bendera yang berada di tiang tertinggi di sebuah Sekolah Dasar. Petang telah mengiringi waktu yang berjalan sesuai dengan ketentuan dari Pencipta Alam Semesta. Ketika waktu telah menunjukkan pukul 18.00 tepat, tampak Pak Sholeh berjalan santai menuju tiang bendera. Pak Sholeh berjalan beriringan dengan anggota keluarga yang paling kecil-Asep. Mereka adalah penjaga sekolah dasar tersebut. Setelah sampai di tiang bendera bagian bawah, perlahan namun pasti bendera diturunkan karena memang sudah waktunya sebuah bendera itu berkibar habis. Bendera itu biasanya dipasang oleh mereka pukul 06.00 pagi dan diturunkan pukul 18.00 sore harinya. Aku kemudian tersentak dengan apa yang dilakukan oleh kedua orang itu. Teringat kembali bendera kesayangnku yang lenyap ditelan bumi. Aku kemudian berlari sekuat tenaga, sekuat nafas dan sekuat badan ini dibawa pergi.
* * *
Sesampainya di rumah, aku melihat keluargaku berdiri melihatku dari depan pintu rumah. Mereka sedang sibuk mendekorasi rumah dengan pernak-pernik berwarna merah dan putih. Bahrul sibuk memasang bendera merah putih yang terbuat dari plastik untuk dikalungkan pada rumah yang berwarna biru langit ini. Anak-anak dan Anis juga sibuk memasukkan benang di antara bendera-bendera plastik itu. Mereka semua tampak senang dan bahagia. Ketika berada di depan rumah, Ani mengajakku untuk ikut membantu.
”Kek, ini dibantu dong. Ha.. ha.. Nanti selesainya kapan jika kakek diam di situ?” Rengek Ani dengan manja. Aku pun beranjak dari diam terpaku. Ku bantu Ani dengan memegang bendera plastik itu. Kegiatan itu kami lakukan sampai pukul 20.00.
* * *
Ayam jantan berkokok pagi ini dengan lantang menarik perhatian betina untuk mencari makan. Tupai sudah mulai keluar dari sarang kelapa dengan menampakkan batang hidungnya yang lucu. Burung dara mulai berputar di sekitar langit depan rumah, pertanda ingin makan beberapa jagung yang biasanya anakku-Anis beri bila pagi hari. Angin berlalu lemah, tanpa meninggalkan jejak pada pasir di sekitar taman depan rumah. Di ujung rumah terdapat tiang bendera buatan Bahrul. Bendera tampaknya belum terpasang di tempatnya. Aku kemudian berkeliling mencari Bahrul.
”Rul, Bahrul... bendera di depan kok belum dipasang. Ini sudah jam 6 lewat 10 menit.”
”Ya, Yah. Ini lagi mandi di kamar mandi belakang.” suara bahrul dari kamar mandi belakang membahana mengisi pagi yang terlihat cerah.
”Yah, minum dulu kopi hangat di meja depan.” Anis kemudian menyapa perlahan dari arah belakang.
”Oh, iya.” setengah kaget aku menoleh ke belakang.
Aku kemudian berjalan beriringan melangkah ke depan meja. Tampak kopi buatan Anis berada tepat di depan mataku. Aku kemudian mengambil dan menikmati kopi buatan anakku.
TAMAT
*) naskah cerpen ini pernah diikutkan dalam lomba menulis karya sastra 2008 di Jakarta.
PROFIL PENULIS
Nama : Agus Sri Purwanto, S. Pd.
Tempat Tanggal Lahir : Samarinda, 24 April 1984
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Alamat : Jalan Provinsi KM 64 RT 013 No 165 Kel. Long Kali, Kec. Long Kali, Paser, Kalimantan Timur
Aktivitas : 1. Mengajar di sebuah sebuah SMA Negeri 1 Long Kali – Paser pelajaran Bahasa Indonesia
2. Instruktur di Kursus Komputer ”LPK ANY”
3. Pembina Teater Pelajar ”Teater Bendera”